22 Februari 2009

Fenomena Ponari Akan Hilang



Pengamat sosial dan kebudayaan Universitas Darul `Ulum Jombang, Jawa Timur, Prof. Dr. Tadjoer Ridjal, mengatakan fenomena dukun cilik Ponari akan hilang dengan sendirinya, dalam waktu dekat. "Fenomena seperti ini tidak akan berlangsung lama karena akan hilang sendiri. Mengenai kapan itu akan terjadi, tergantung situasi dan kondisi masyarakat," katanya di Jombang, Jawa Timur, Minggu (22/2).

Fenomena Ponari, kata dia, tidak memiliki keterkaitan langsung dengan masalah pelayanan kesehatan dan kondisi sosio-kultural masyarakat Jombang secara umum. "Yang datang ke rumah Ponari bukan hanya masyarakat Jombang. Kalau dicermati lagi, justru lebih banyak dari daerah lain, termasuk Kalimantan, Sumatera, Bali, dan beberapa wilayah lain di Indonesia," katanya.

Menurut dia, fenomena Ponari merupakan potret masyarakat yang masih memegang teguh pemikiran tradisional. "Golongan masyarakat ini ingin menghidupkan kembali mitos lama yang telah punah. Golongan ini penganut romantisme mistis," katanya.

Mitos lama itu, lanjut Tadjoer, adalah munculnya sosok Ki Ageng Selo yang melegenda di kalangan masyarakat Jawa ratusan tahun silam. Ki Ageng Selo mendadak sakti setelah petir yang hendak menyambarnya mampu dihalau dan berubah menjadi sebuah batu.

"Legenda Ki Ageng Selo itu kembali dihidupkan di tengah masyarakat dengan menampilkan sosok Ponari. Dalam tinjauan sosiologi dan kebudayaan, kedua sosok ini sama-sama memiliki power yang digambarkan oleh kalangan masyarakat tertentu sebagai bentuk kesaktian," katanya.

Berdasarkan tradisi, kekuasaan (power) itu tidak diperoleh melalui pencapaian prestasi tapi askriptif dengan penaklukan dan penyerapan. Penyerapan bisa didapatkan dari faktor keturunan dan titisan.
"Ponari merupakan askriptif penyerapan titisan. Masyarakat menganggap Ponari merupakan titisan dari Ki Ageng Selo sehingga dia pun dianggap memiliki kesaktian," kata Asisten Direktur Program Pasca Sarjana Undar Jombang itu.

Oleh sebab itu kemampuan yang ada pada diri Ponari tidak bisa diukur dengan menggunakan paradigma rasio empiris. "Fenomena Ponari sama sekali mengabaikan kelas dan strata ekonomi karena diusung oleh golongan romantisme mistis tadi. Yang datang ke tempat Ponari tidak hanya orang miskin, tapi banyak kalangan masyarakat kaya dan berpendidikan, terutama mereka yang berasal dari luar Jawa. Oleh sebab itu, fenomena ini tidak bisa ditinjau secara rasio empiris," katanya.

Dia menambahkan, biasanya fenomena itu akan berakhir kalau sudah ada unsur komersial. "Karena kesaktian seseorang itu didasari syarat-syarat moral, di antaranya yang paling utama adalah membantu orang lain tanpa pamrih. Jadi secara otomatis, kesaktian seseorang akan sirna, jika sudah berorientasi pada materi," kata Tadjoer.

Tentu hal itu susah untuk dijawab Ponari dan keluarganya yang membuka praktik sejak 17 Januari lalu di Dusun Kedungsari, Desa Balongsari, Megaluh, Jombang, Jawa Timur, itu kabarnya telah meraup keuntungan Rp 1 miliar.

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan pilih identitas yang anda inginkan.
Tidak boleh memilih anonim.
Mohon untuk tidak mengirim spam.

Terima kasih.